Abdul Muthalib, Kakek Nabi Muhammad SAW
Sepeninggal Hasyim (buyut Rasulullah SAW) dialihkan ke saudaranya, Al Muthalib bin Abdi Manaf, seorang laki-laki yang terpandang dan terhormat di tengah-tengah kaumnya. Oleh orang-orang Quraisy, Al-Muthalib dijuluki dengan sebutan Al-Fayyadh (sang dermawan), karena dia adalah seorang yang senang menderma.
Menemui Abdul Muthalib
Abdul Muthalib memiliki nama asli Syaiban. Sejak kecil, ia diasuh oleh ibunya di Madinah. Al-Muthalib yang saat itu mengetahui kabar Syaiban, anak saudaranya, ia bergegas pergi menemuinya. Tatkala Al-Muthalib menemui Syaiban, ia sudah beranjak remaja.
Setelah Al-Muthalib dan Syaiban saling berhadapan, Al-Muthalib menangis haru. Ia lalu memeluknya dan mengajak Syaiban untuk ikut dengannya. Namun, Syaiban hanya menerima ajakan tersebut jika ibunya mengizinkan. Maka Al-Muthalib meminta izin kepada ibunya. Sayangnya, permintaan Al-Muthalib itu ditolak.
Pergi ke Mekah
“Sesungguhnya anakmu, Syaiban, akan pergi ke kampung halaman ayahnya dan Tanah Suci Allah,” bujuk Al-Muthalib. Akhirnya ibu Syaiban pun mengizinkan. Maka Syaiban dibawa ke Mekah dengan menunggangi unta Al-Muthalib.
Sesampainya di Mekah orang-orang berkata, “Inilah dia Abdul Muthalib.”
Al-Muthalib menimpali, “Diamlah kalian. Ini adalah anak dari saudaraku, Hasyim.”
Selama di Mekah, Abdul Muthalib tinggal di rumah Al-Muthalib hingga ia dewasa. Ketika Al-Muthalib meninggal dunia di Yaman, Abdul Muthalib kemudian menggantikan kedudukan pamannya itu.
Kemudian Abdul Muthalib menjadi pemimpin di tengah kaumnya sebagaimana keluarganya terdahulu dan ia mendapatkan kehormatan yang agung, yang tidak pernah didapatkan keluarga sebelumnya. Abdul Muthalib begitu dicintai dan dihormati kaumnya.
Kedudukannya Direbut
Namun Naufal (paman dari Abdul Mutthalib) merebut sebagian wilayah kekuasaannya, yang membuat Abdul Muthalib marah. Lalu Abdul Mutthalib meminta dukungan kepada beberapa pemimpin Quraisy untuk menghadapi pamannya. Namun mereka berkata, “Kami tidak ingin mencampuri urusan antara dirimu dan pamanmu.”
Kemudian Abdul Mutthalib menulis surat yang diperuntukkan kepada paman-paman dari pihak ibunya dari Bani An-Najjar, yang berisi beberapa bait syair meminta pertolongan kepada mereka.
Dukungan dari Sang Paman
Salah seorang pamannya, Abu Sa’d bin Adi membawa delapan puluh pasukan berkuda, lalu singgah di pinggiran Mekah. Abdul Mutthalib menemui pamannya di sana dan berkata, “Mari singgah ke rumahku, wahai Paman!”
“Tidak, demi Allah, kecuali setelah aku bertemu Naufal,” kata pamannya. Lalu Abu Sa’d mencari Naufal, yang saat itu sedang duduk di Hijir bersama beberapa pemuka Quraisy. Abu Sa’d langsung menghunus pedang dan berkata, “Demi penguasa Ka’bah, jika engkau tidak mengembalikan wilayah kekuasaan anak saudariku, maka aku akan menebaskan pedang ini ke batang lehermu.”
Kedudukannya Dikembalikan
“Aku akan mengembalikannya,” kata Naufal. Pengembalian ini dipersaksikan para pemuka Quraisy, baru setelah itu Abu Sa’d mau singgah di rumah Abdul Mutthalib dan menetap di sana selama tiga hari. Setelah itu dia melaksanakan umroh lalu pulang ke Madinah.
Melihat perkembangan ini, Naufal mengadakan perjanjian persahabatan dengan Bani Abdi Syams bin Abdi Manaf untuk menghadapi Bani Hasyim. Bani Khuza’ah yang melihat dukungan Bani An-Najjar terhadap Abdul Mutthalib, maka mereka berkata, “Kami juga melahirkannya sebagaimana kalian telah melahirkannya. Oleh karena itu kamu juga lebih berhak mendukungnya.” Hal ini dikarena ibu Abdi Manaf berasal dari keturunan mereka.
Maka mereka memasuki Darun Nadwah dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Bani Hasyim untuk menghadapi Abdi Syams yang sudah bersekutu dengan Naufal. Perjanjian persahabatan inilah yang kemudian menjadi sebab penaklukan Mekah mendatang.
Penggalian Sumur Zamzam
Suatu malam, Abdul Mutthalib bermimpi disuruh menggali sumur Zamzam dan mencari tempatnya. Maka dia pun melaksanakan perintah dalam mimpi itu. Ternyata di dalamnya Abdul Mutthalib mendapatkan berbagai benda berharga yang dulu pernah dikubur orang-orang Jurhum saat masih berkuasa.
Benda-benda itu berupa beberapa buah pedang, baju perang, dan dua pangkal pelana, yang semuanya terbuat dari emas. Kemudian dia menjadikan pedang-pedang itu sebagai pintu Ka’bah dan memasang dua buah pangkal pelana di pintu itu. Abdul Mutthalib tetap menangani urusan air minum dari Zamzam bagi orang-orang yang menunaikan haji.
Mengajak Bersekutu
Tatkala sumur Zamzam itu ditemukan kembali oleh Abdul Muththalib, maka orang-orang Quraisy ingin ikut campur tangan menanganinya. Mereka berkata, “Kami ingin bersekutu.”
Tidak bisa. Ini adalah urusan yang secara khusus ada di tanganku,” kata Abdul Muththalib. Dia tidak mau menyerahkan begitu saja masalah ini kepada mereka kecuali setelah menyerahkan keputusan kepada seorang dukun wanita darı Banı Sa’d. Mereka tidak akan pulang kecuali setelah Allah memberinya sepuluh anak laki-lakı, dan setelah mereka besar dia tidak lagi mempunyai anak, maka dia akan mengorbankan (menyembelih) salah seorang di antara mereka di hadapan Ka’bah.”
Anak Keturun Abdul Mutthalib
Abdul Mutthalib memiliki sepuluh anak laki-laki: Al-Harits, Az-Zubair, Abu Thalib, Abdullah, Hamzah, Abu Lahb, Al-Ghaidaq, Al-Muqawwim, Shaffar, Al-Abbas.
Ada juga yang berpendapat, anaknya ada sebelas, yaitu ditambah Qatsam. Ada pula yang berpendapat, anaknya ada tiga belas. Mereka yang berpendapat seperti ini menambahkan Abdul Ka’bah dan Hajla. Ada yang berpendapat, Abdul Ka’bah adalah Al-Muqawwim, dan Hajlah adalah Al- Ghaidaq. Sementara itu, tak ada seorang di antara anak-anaknya yang bernama Qatsam.
Sedangkan anak perempuannya ada enam: Ummul-Hakim atau Al- Baidha, Barrah, Atikah, Shafiyyah, Arwa, dan Umaimah.