Khazzanah Tours and Travel

Category Archives: Kisah

Kisah Para Sahabat: Umar bin Khattab Masuk Islam

Category : Artikel Kisah

Umar bin Khattab RA merupakan salah satu sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW. Namun, perlu diketahui bahwa Umar bin Khattab RA tidak termasuk Assabiqunal Awwalun atau orang yang pertama kali masuk islam.

Dahulu kala, Umar bin Khattab sangat membenci Rasulullah SAW dan ajarannya. Menurutnya, Rasulullah SAW telah memecah belah kota Mekah. Bahkan Umar bin Khattab RA pernah menyiksa orang-orang yang mengikuti ajaran Rasulullah SAW.

Doa Nabi Muhammad SAW Untuk Dua Umar

Suatu hari, saat sedang melalui sebuah jalan, Umar bin Khattab RA melihat Abdullah Ibnu Mas’ud RA ditindas. Beliau tidak melakukan apa-apa untuk membantu Abdullah Ibnu Mas’ud RA. Lalu ketika Abdullah Ibnu Mas’ud RA melihat Umar bin Khattab RA melintas, ia berkata, “Rasulullah SAW telah mendoakan untuk masuk Islamnya salah satu yang terbaik dari dua Umar, Umar bin Khattab atau Umar bin Hisyam (Abu Jahal)”

Ingin Membunuh Nabi Muhammad SAW

Rasa kebencian Umar bin Khattab RA kian membuncah. Ia kemudian mengambil pedangnya dan bergegas pergi ke Darul Arqam, tempat Rasulullah SAW mengajarkan agama Islam kepada pengikutnya. Di tengah perjalanan, Nu’aim bin Abdullah menahan Umar bin Khattab RA. Ia berkata, “Mau kemanakah engkau, Wahai Umar?”

Umar menjawab, “Minggir, aku akan membunuh Muhammad yang telah memecah belah kaum kita!”

“Apa kau tahu resikonya? Bagaimana jika Bani Muthalib meminta balasan?” balas Nu’aim itu.

“Serahkan saja kepalaku kepada mereka.” Lalu Umar cepat-cepat kembali berjalan.

Namun, Nu’aim itu tetap menghadangnya. “Urus saja keluargamu dahulu, wahai Umar. Fathimah adikmu dan suaminya telah memeluk agama Muhammad.”

Mendatangi Kediaman Adiknya

Mendengar itu, tujuan Umar bin Khattab RA berubah. Wajahnya yang sudah merah menahan amarah makin kelam. Ia beralih ke tempat tinggal adiknya yang dibilang telah memeluk agama Islam. Setelah tiba di depan rumahnya, ia tidak langsung mengetuk pintunya. Di depan rumah Fathimah binti Khattab, ia mendengar suara lantunan yang sangat merdu.

Buru-buru Umar RA tersadar dan mengetuk pintu rumah adiknya. “Fathimah, cepat buka pintunya. Ini aku, Umar!”

Di dalam rumah, Fathimah binti Khattab dan suaminya, Sa’id bin Zaid yang sedang mengaji cepat-cepat menghentikan kegiatannya dan menyembunyikan gurunya. Setelah siap, Fathimah pun membuka pintu rumahnya.

“Kenapa kau lama sekali membuka pintunya?” ucap Umar kepada adiknya. Kemudian Umar masuk dan duduk. Di sana, ia melihat selembar pelepah yang disembunyikan Fathimah. “Apa itu?” tanya Umar bin Khattab RA.

Fathimah menjawab, “Suhuf.”

“Apa itu suhuf?”

“Lembaran Al-Quran.”

Pintu Hati Umar bin Khattab Terketuk

Lalu Umar membaca apa yang tertulis di dalamnya:

طٰهٰۚ ۝١ مَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لِتَشْقٰٓىۙ ۝٢ اِلَّا تَذْكِرَةً لِّمَنْ يَّخْشٰىۙ ۝٣ تَنْزِيْلًا مِّمَّنْ خَلَقَ الْاَرْضَ وَالسَّمٰوٰتِ الْعُلٰىۗ ۝٤ اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى ۝٥ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرٰى ۝٦ وَاِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَاِنَّهٗ يَعْلَمُ السِّرَّ وَاَخْفٰى ۝٧ اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ لَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى ۝٨ وَهَلْ اَتٰىكَ حَدِيْثُ مُوْسٰىۘ ۝٩ اِذْ رَاٰ نَارًا فَقَالَ لِاَهْلِهِ امْكُثُوْٓا اِنِّيْٓ اٰنَسْتُ نَارًا لَّعَلِّيْٓ اٰتِيْكُمْ مِّنْهَا بِقَبَسٍ اَوْ اَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى ۝١٠ فَلَمَّآ اَتٰىهَا نُوْدِيَ يٰمُوْسٰٓىۙ ۝١١ اِنِّيْٓ اَنَا۠ رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَۚ اِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًىۗ ۝١٢ وَاَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوْحٰى ۝١٣ اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ ۝١٤

Setelah membaca ayat ini, tangan Umar bergetar. Hatinya terketuk. Ini adalah sesuatu yang benar. Mengapa orang-orang memusuhi ajaran yang sangat indah ini?

Mendapatkan Hidayah

“Wahai Fathimah, di manakah keberadaan Muhammad?”

“Aku tidak akan memberitahu kepadamu jika engkau bermaksud jahat kepadanya.”

“Beritahukan saja kepadaku. Aku tidak akan berbuat jahat kepada Muhammad,” pinta Umar.

Fathimah lalu menjawab, “Darul Arqam.” Lalu Umar bin Khattab bergegas menuju Darul Arqam.

Membawa Kabar Baik Bagi Nabi Muhammad SAW

Rasulullah SAW sedang berada di Darul Arqam bersama pamannya, Hamzah dan beberapa sahabat lainnya saat seseorang mengetuk pintunya. Mereka bertanya-tanya, “Siapakah di luar?”

“Umar bin Khattab.”

Seisi Darul Arqam panik. Ada perlu apa Umar mengunjungi Darul Arqam? Rasulullah SAW cepat-cepat menenangkan sahabatnya, “Bukakan saja pintunya. Semoga kedatangannya berbuah kebaikan.”

“Jika Umar memiliki niat baik, kita terima dia. Tapi jika Umar berniat lainnya, aku berada di garda terdepan untuk melindungi Rasulullah SAW,” ucap Hamzah RA.

Dua Kalimat Syahadat Dari Umar bin Khattab RA

Pintu Darul Arqam pun terbuka. Begitu Umar RA melihat Rasulullah SAW, Umar langsung memeluknya. Lalu dengan terbata-bata, Umar RA mengucapkan dua kalimat syahadat, “Asyhadu alla ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah.”

Setelah itu, Darul Arqam diliputi perasaan gembira. Doa Rasulullah SAW terkabul. Sebelumnya, umat Islam sangat khawatir karena tidak ada yang seberani Umar bin Khattab RA dalam membela Islam. Hidayah yang datang tanpa disangka membuat hati Umar RA terketuk melalui Surat Taha.


Abdul Muthalib, Kakek Nabi Muhammad SAW

Category : Artikel Kisah

Sepeninggal Hasyim (buyut Rasulullah SAW) dialihkan ke saudaranya, Al Muthalib bin Abdi Manaf, seorang laki-laki yang terpandang dan terhormat di tengah-tengah kaumnya. Oleh orang-orang Quraisy, Al-Muthalib dijuluki dengan sebutan Al-Fayyadh (sang dermawan), karena dia adalah seorang yang senang menderma.

Menemui Abdul Muthalib

Abdul Muthalib memiliki nama asli Syaiban. Sejak kecil, ia diasuh oleh ibunya di Madinah. Al-Muthalib yang saat itu mengetahui kabar Syaiban, anak saudaranya, ia bergegas pergi menemuinya. Tatkala Al-Muthalib menemui Syaiban, ia sudah beranjak remaja.

Setelah Al-Muthalib dan Syaiban saling berhadapan, Al-Muthalib menangis haru. Ia lalu memeluknya dan mengajak Syaiban untuk ikut dengannya. Namun, Syaiban hanya menerima ajakan tersebut jika ibunya mengizinkan. Maka Al-Muthalib meminta izin kepada ibunya. Sayangnya, permintaan Al-Muthalib itu ditolak.

Pergi ke Mekah

“Sesungguhnya anakmu, Syaiban, akan pergi ke kampung halaman ayahnya dan Tanah Suci Allah,” bujuk Al-Muthalib. Akhirnya ibu Syaiban pun mengizinkan. Maka Syaiban dibawa ke Mekah dengan menunggangi unta Al-Muthalib.

Sesampainya di Mekah orang-orang berkata, “Inilah dia Abdul Muthalib.”

Al-Muthalib menimpali, “Diamlah kalian. Ini adalah anak dari saudaraku, Hasyim.”

Selama di Mekah, Abdul Muthalib tinggal di rumah Al-Muthalib hingga ia dewasa. Ketika Al-Muthalib meninggal dunia di Yaman, Abdul Muthalib kemudian menggantikan kedudukan pamannya itu.

Kemudian Abdul Muthalib menjadi pemimpin di tengah kaumnya sebagaimana keluarganya terdahulu dan ia mendapatkan kehormatan yang agung, yang tidak pernah didapatkan keluarga sebelumnya. Abdul Muthalib begitu dicintai dan dihormati kaumnya.

Kedudukannya Direbut

Namun Naufal (paman dari Abdul Mutthalib) merebut sebagian wilayah kekuasaannya, yang membuat Abdul Muthalib marah. Lalu Abdul Mutthalib meminta dukungan kepada beberapa pemimpin Quraisy untuk menghadapi pamannya. Namun mereka berkata, “Kami tidak ingin mencampuri urusan antara dirimu dan pamanmu.”

Kemudian Abdul Mutthalib menulis surat yang diperuntukkan kepada paman-paman dari pihak ibunya dari Bani An-Najjar, yang berisi beberapa bait syair meminta pertolongan kepada mereka.

Dukungan dari Sang Paman

Salah seorang pamannya, Abu Sa’d bin Adi membawa delapan puluh pasukan berkuda, lalu singgah di pinggiran Mekah. Abdul Mutthalib menemui pamannya di sana dan berkata, “Mari singgah ke rumahku, wahai Paman!”

“Tidak, demi Allah, kecuali setelah aku bertemu Naufal,” kata pamannya. Lalu Abu Sa’d mencari Naufal, yang saat itu sedang duduk di Hijir bersama beberapa pemuka Quraisy. Abu Sa’d langsung menghunus pedang dan berkata, “Demi penguasa Ka’bah, jika engkau tidak mengembalikan wilayah kekuasaan anak saudariku, maka aku akan menebaskan pedang ini ke batang lehermu.”

Kedudukannya Dikembalikan

“Aku akan mengembalikannya,” kata Naufal. Pengembalian ini dipersaksikan para pemuka Quraisy, baru setelah itu Abu Sa’d mau singgah di rumah Abdul Mutthalib dan menetap di sana selama tiga hari. Setelah itu dia melaksanakan umroh lalu pulang ke Madinah.

Melihat perkembangan ini, Naufal mengadakan perjanjian persahabatan dengan Bani Abdi Syams bin Abdi Manaf untuk menghadapi Bani Hasyim. Bani Khuza’ah yang melihat dukungan Bani An-Najjar terhadap Abdul Mutthalib, maka mereka berkata, “Kami juga melahirkannya sebagaimana kalian telah melahirkannya. Oleh karena itu kamu juga lebih berhak mendukungnya.” Hal ini dikarena ibu Abdi Manaf berasal dari keturunan mereka.

Maka mereka memasuki Darun Nadwah dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Bani Hasyim untuk menghadapi Abdi Syams yang sudah bersekutu dengan Naufal. Perjanjian persahabatan inilah yang kemudian menjadi sebab penaklukan Mekah mendatang.

Penggalian Sumur Zamzam

Suatu malam, Abdul Mutthalib bermimpi disuruh menggali sumur Zamzam dan mencari tempatnya. Maka dia pun melaksanakan perintah dalam mimpi itu. Ternyata di dalamnya Abdul Mutthalib mendapatkan berbagai benda berharga yang dulu pernah dikubur orang-orang Jurhum saat masih berkuasa.

Benda-benda itu berupa beberapa buah pedang, baju perang, dan dua pangkal pelana, yang semuanya terbuat dari emas. Kemudian dia menjadikan pedang-pedang itu sebagai pintu Ka’bah dan memasang dua buah pangkal pelana di pintu itu. Abdul Mutthalib tetap menangani urusan air minum dari Zamzam bagi orang-orang yang menunaikan haji.

Mengajak Bersekutu

Tatkala sumur Zamzam itu ditemukan kembali oleh Abdul Muththalib, maka orang-orang Quraisy ingin ikut campur tangan menanganinya. Mereka berkata, “Kami ingin bersekutu.”

Tidak bisa. Ini adalah urusan yang secara khusus ada di tanganku,” kata Abdul Muththalib. Dia tidak mau menyerahkan begitu saja masalah ini kepada mereka kecuali setelah menyerahkan keputusan kepada seorang dukun wanita darı Banı Sa’d. Mereka tidak akan pulang kecuali setelah Allah memberinya sepuluh anak laki-lakı, dan setelah mereka besar dia tidak lagi mempunyai anak, maka dia akan mengorbankan (menyembelih) salah seorang di antara mereka di hadapan Ka’bah.”

Anak Keturun Abdul Mutthalib

Abdul Mutthalib memiliki sepuluh anak laki-laki: Al-Harits, Az-Zubair, Abu Thalib, Abdullah, Hamzah, Abu Lahb, Al-Ghaidaq, Al-Muqawwim, Shaffar, Al-Abbas.

Ada juga yang berpendapat, anaknya ada sebelas, yaitu ditambah Qatsam. Ada pula yang berpendapat, anaknya ada tiga belas. Mereka yang berpendapat seperti ini menambahkan Abdul Ka’bah dan Hajla. Ada yang berpendapat, Abdul Ka’bah adalah Al-Muqawwim, dan Hajlah adalah Al- Ghaidaq. Sementara itu, tak ada seorang di antara anak-anaknya yang bernama Qatsam.

Sedangkan anak perempuannya ada enam: Ummul-Hakim atau Al- Baidha, Barrah, Atikah, Shafiyyah, Arwa, dan Umaimah.


Kisah Para Sahabat: Adzan Terakhir Bilal bin Rabah

Bilal bin Rabah, seorang mantan budak yang masyhur karena memiliki aqidah yang sangat kuat. Ketika tuannya memaksa Bilal untuk meninggalkan Islam, dengan lantang ia menjawab, “Ahadun Ahad!” Lalu Bilal kembali disiksa. Beliau begitu mencintai Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Setelah Rasulullah Wafat

Hari di mana Rasulullah SAW wafat merupakan hari yang sangat menyedihkan bagi umat muslim kala itu. Mereka kehilangan sosok teladan dan pemimpin yang lemah lembut. Seluruh Kota Madinah berduka. Tak terkecuali Bilal.

Bilal yang sejak awal telah menjadi muadzin kala itu sangat bersedih. Saat Bilal mengumandangkan adzan, perasaan rindunya kepada Rasulullah SAW kian membuncah. Ketika Bilal berangkat ke masjid, beliau harus melewati rumah Rasullah SAW yang di dalamnya terdapat makam makhluk mulia tersebut.

Merasa tak sanggup, Bilal meminta izin kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq yang kala itu menjabat sebagai Khalifah untuk mengirimnya ke medan jihad. Awalnya Abu Bakar tak mengizinkan, namun karena Bilal terus memohon, beliau pun memperbolehkan Bilal untuk terjun ke medan jihad.

Bilal Pergi

Sejak saat itu, Bilal bin Rabah yang memiliki suara merdu itu tak kembali. Beliau memilih untuk menetap di Syam. Di Syam, Bilal kemudian meminang seorang wanita dan menikahinya.

Suatu hari, Bilal mengoceh dan menangis dalam tidurnya. Istrinya yang khawatir pun bertanya kepadanya, “Ada apa gerangan? Apa kau bermimpi buruk?” Lalu Bilal menjawab, “Tidak, justru aku bermimpi sesuatu yang baik. Rasulullah SAW mendatangiku. Beliau memanggilku, “Wahai Bilal,” dan berkata, “Kami rindu kepadamu. Sudah lama kau tidak mengunjungi kami, wahai Bilal.”

Kembali ke Madinah

Setelah terbangun, Bilal merasakan rindu yang teramat sangat dan merasa bersalah karena lama tidak menjenguk Rasulullah SAW. Dari Syam, Bilal dan istrinya kemudian berangkat ke Madinah untuk berziarah ke makam Rasulullah SAW.

Setibanya Bilal di Madinah, penduduk setempat merasa bahwa mereka seperti hidup di masa Rasulullah SAW masih ada. Umar bin Khattab yang telah menggantikan Abu Bakar menjadi Amirul Mukminin merasa sangat senang. Beliau menunggu Bilal selesai dengan ibadah-ibadahnya dan selesai berziarah ke makam Rasulullah SAW dan Abu Bakar.

Ajakan Untuk Adzan

Ketika semuanya tuntas, Umar pun mendatangi Bilal dan berkata, “Sudah lama kami tidak mendengar suara adzan darimu. Tolong kumandangkan adzan sekali lagi sebagaimana engkau mengumandangkannya di masa Rasulullah SAW. Kami rindu dan ingin merasakan suasana di zaman Rasulullah SAW.” Para sahabat yang hadir pada saat itu menyetujui perkataan Umar bin Khattab.

Bilal menolak secara halus, “Saya tidak akan kuat.” Mereka yang hadir di sana tak menyerah dan meminta Bilal untuk mencoba terlebih dahulu.

Akhirnya Bilal bin Rabah pun setuju. Beliau akan mencoba untuk kembali mengumandangkan adzan.

Adzan Terakhir Bilal bin Rabah

(Allahu Akbar… Allahu Akbar…) Satu Kota Madinah terkejut dan bahagia mendengar suara merdu Bilal. Mereka bertanya-tanya, “Apakah Rasulullah sudah bangkit kembali?”

(Allahu Akbar… Allahu Akbar…) Pasar yang awalnya ramai mendadak sepi mendengar suara Bilal yang masih samar-samar.

(Asyahadualla Ilaaha Illallah…) Seluruh penduduk Kota Madinah berlari dari tempat mereka, dari pasarnya, dari rumahnya untuk memastikan apakah benar Rasulullah SAW telah dibangkitkan.

(Asyahadualla Ilaaha Illallah…) Mereka semua berbondong-bondong mendatangi masjid. Masjid menjadi ramai.

(Asyhaduanna Muhammadar Rasulullah…) Tiba-tiba lidah Bilal kelu. Beliau tak sanggup untuk melanjutkan adzannya. Bilal menangis dengan tangisan kerinduan yang teramat keras. Penduduk Madinah yang hadir di masjid juga menangis. Satu Kota Madinah pun menangis. Mereka rindu masa ketika Rasulullah SAW masih ada.

Hari Berkabung

Para ulama pun mengatakan, “Tidak pernah Madinah menangis sehebat hari ini kecuali karena dua hal. Pertama ketika hari Rasulullah SAW wafat dan kedua ketika hari di mana Bilal bin Rabah kembali mengumandangkan adzan.” Seluruh penduduk Madinah merasa rindu dan kehilangan Rasulullah SAW. Semuanya ingin kembali ke masa di mana Rasulullah SAW masih hidup.

Alasan Bilal bin Rabah Tak Sanggup Kumandangkan Adzan Lagi

Setelah tuntas dengan tangis kerinduan, mereka kemudian bertanya, “Wahai Bilal, mengapa engkau menangis?”

Bilal menjawab, “Dulu, biasanya jika aku telah selesai mengumandangkan adzan, saya akan mendatangi hujroh (rumah kecil) Rasulullah SAW. Lalu saya memanggil beliau dan mengajaknya sholat. Rasulullah SAW tidak akan keluar hingga beliau dipanggil dengan khusus, dan beliau keluar dengan wajah yang berseri-seri. Sekarang, bagaimana saya akan memanggil dan mengajak Rasulullah SAW jika beliau telah kembali kepada kekasihnya yaitu Allah SWT?”


Kisah Penuh Hikmah: Pasukan Gajah Raja Abrahah

Category : Artikel Kisah

Beberapa bulan sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, ada suatu peristiwa besar yang sangat menggemparkan masyarakat Arab khususnya warga Mekah. Tahun di mana peristiwa ini terjadi akhirnya dikenang dengan sebutan Tahun Gajah. Peristiwa besar inilah yang juga melatarbelakangi turunnya Surat Al-Fil.

Awal Mula

Abrahah Ash-Shabbah Al-Habsi, Raja Yaman dari Najasy membangun sebuah gereja yang sangat besar dan megah di Shan’a. Ia ingin menyaingi Ka’bah di Mekah yang sangat ramai dikunjungi para peziarah haji. Dengan adanya gereja megah tersebut, ia berharap orang-orang bisa mengalihkan pusat haji ke tempatnya. Seorang dari Bani Kinanah yang mendengar niat Abrahah kemudian datang mengendap-ngendap pada malam hari lalu melumurkan kotoran di pusat kiblatnya.

Mengetahui hal ini, Abrahah amat murka padanya. Ia kemudian menyiapkan enam puluh ribu pasukan untuk menyerang Ka’bah. Abrahah sendiri mengendarai seekor gajah yang paling besar dengan sembilan atau 13 ekor gajah lainnya.

Pertolongan Allah Datang

Setiba di Wadi Muhasshir, yaitu antara Muzdalifah dan Mina, tiba-tiba gajahnya menderum dan enggan bangun untuk mendekati Mekah. Setiap kali diarahkan ke arah yang berlawanan dengan Ka’bah, gajah itu mau berdiri dan hendak lari. Namun, jika diarahkan ke Ka’bah lagi, maka gajah itu menderum. Sementara itu, orang-orang Quraisy berpencar dalam beberapa kelompok dan mengungsi ke atas gunung karena takut terhadap serangan pasukan gajah Abrahah.

Saat mereka sibuk dengan gajah-gajah itu, tiba-tiba langit menjadi temaram. Burung-burung Ababil datang dengan tiga batu yang ada di paruhnya dan dua batu di kedua kakinya. Allah telah mengirimkan bala bantuannya. Batu-batu panas itu kemudian dijatuhkan di atas pasukan gajah yang membuat sendi-sendi tulang terlepas lalu mereka pun mati.

Akhir Dari Pasukan Gajah Raja Abrahah

Pasukan gajah yang tadinya rapi tercerai-berai. Mereka berlomba-lomba melarikan diri dan saling menabrak hingga banyak yang terinjak-injak dan mereka mati. Abrahah berhasil kabur. Namun Allah mendatangkan penyakit kepadanya yang membuat sendi-sendi tulangnya terlepas. Ketika sampai di Shan’a, keadaan Abrahah bagaikan anak burung. Kemudian dadanya terbelah hingga jantungnya terlihat dan ia pun mati.

Allah pun mengabadikan peristiwa pasukan gajah Abrahah ini pada QS. Al-Fiil 1-5: 

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحٰبِ الْفِيْلِۗ ۝١ اَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍۙ ۝٢ وَّاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَۙ ۝٣ تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍۙ ۝٤ فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍࣖ ۝٥

Artinya: Tidakkah engkau (Nabi Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? [1] Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? [2] Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong [3] yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar [4] sehingga Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat) [5]

Begitulah kisah Pasukan Gajah Raja Abrahah. Kisah ini menjadi pengingat bagi siapapun yang ada di muka bumi ini agar tidak congkak, apalagi tinggi hati kepada Sang Pencipta, Allah Ta’ala. Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram tahun 571 Masehi. Dan itulah menjadi sebab mengapa tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW disebut tahun gajah. Peristiwa besar yang masyhur bahkan hingga saat ini.

Sumber: Sirah Nabawiyah, Syeikh Syafiyyurrahman Al-Mubarakfuri