Hukum Berhaji Dengan Visa Non-Haji
Category : Artikel
Semua muslim di dunia ini tentu ingin diundang Allah SWT ke rumahNya di Mekah. Khususnya saat ibadah haji yang di mana ibadah tersebut termaktub dalam rukun Islam yang lima. Di zaman yang serba modern ini, tentu kita tidak bisa sembarangan datang ke suatu negara tanpa izin. Izin yang dikeluar oleh negara yang bersangkutan berupa visa.
Visa pun ada banyak jenisnya. Jenis visa yang bisa digunakan untuk berhaji ada: visa haji reguler, visa haji khusus, dan visa mujamalah. Tapi, bagaimanakah hukumnya jika berhaji menggunakan visa non-haji? Simak penjelasannya dengan seksama.
Putusan dari Kementrian Agama Republik Indonesia
Telah diputuskan oleh Pengurus Besar Harian Syuriah Nadhatul Ulama (NU) bahwa berhaji dengan visa non-haji atau non-prosedural itu sah, namun cacat dan pelakunya berdosa.
Dikutip dari Lampiran Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU, “Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa haji dengan visa non haji (tidak prosedural) adalah sah akan tetapi cacat dan yang bersangkutan berdosa.” Pada hari Kamis, 30 Mei 2024.
Keputusan ini merupakan salah satu hasil musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah NU yang diselanggarakan pada hari Selasa, 28 Mei 2024 di Jakarta. Musyawarah ini dipimpin oleh Rais ‘Aam KH Miftachul Akhyar dan Katib Aam KH Ahmad Said Asrori. Peserta musyawarah lainnya bisa hadir dalam secara langsung ataupun via online.
Keputusan yang Telah Melalui Banyak Pertimbangan
Pertama: Mampu
Syarat utama haji adalah mampu dalam segala aspek. Mampu secara harta untuk keberangkatan haji dan bagi keluarga yang ditinggalkan. Mampu secara fisik berupa kesehatan yang mumpuni untuk menjalankan rangkaian ibadah haji dengan maksimal serta memiliki bekal yang cukup dan transportasi yang layak. Mampu untuk merasa aman ketika berziarah ke Tanah Suci Mekah.
Ketiga syarat kemampuan ini telah diatur dengan baik oleh otoritas lembaga pelaksana ibadah haji, baik pemerintah atau negara yang memberangkatkan jemaah haji (termasuk Indonesia) maupun pemerintah yang menjadi pemilik wilayah sebagai lokasi pelaksanaan ibadah haji (Kerajaan Arab Saudi). Pengaturan tersebut, salah satunya adalah pembatasan kuota haji.
Kedua: Berdasarkan Undang-Undang
Menurut Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, terdapat dua jenis visa haji Indonesia yang legal, yaitu visa haji kuota Indonesia (kuota haji reguler dan haji khusus) dan visa haji mujamalah (undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi).
Sebutan visa haji mujamalah lebih dikenal dengan haji furoda. Jamaah yang mendapatkan visa ini wajib berangkat melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Ketiga: Banyak Oknum yang Tidak Bertanggung Jawab
Ada banyak sekali oknum yang memanfaatkan situasi antrean panjang beribadah haji dengan melakukan penawaran haji menggunakan visa non-haji. Banyak penawaran berhaji tanpa antre dengan visa ziarah multiple (kunjungan berulang), visa ummal (pekerja), visa turis, visa umrah, dan jenis visa lainnya.
Praktik ini merupakan praktik haji yang tidak sesuai dengan prosedur karena haji tanpa kuota.
Keempat: Banyak Masyarakat yang Tergiur
Haji non-prosedural ini dianggap solusi bagi masyarakat yang tidak sabar menunggu antrean haji yang cukup lama dan panjang. Parahnya lagi, mereka tidak mempertimbangkan resiko dan akibat dari haji tanpa prosedur tersebut.
Hal itu bisa jadi karena mereka tidak memahami regulasi, tidak mengetahui hak-haknya, dan tidak mengutamakan perlindungan WNI di luar negeri.
Kelima: Ilegal
Kedatangan para jamaah haji non-prosedural menjadi topik utama setiap tahunnya. Mereka tidak tercatat secara resmi sebagai jamaah menurut negara asal maupun negara tujuan. Karena itu, mereka dianggap sebagai jamaah ilegal yang sewaktu-waktu dapat dideportasi atau dipulangkan secara paksa.
Keenam: Dzolim
Ketika wukuf di Arafah, mereka tidak mendapatkan kuota lokasi beristirahat (maktab) sehingga seringkali para jamaah haji ilegal ini mengambil hak maktab jamaah haji resmi. Nah, hal tersebut sudah bisa didefinisikan sebuah bentuk kedzoliman kepada orang lain.
Selain itu, jika mereka bermasalah secara hukum, dampaknya bukan hanya bagi mereka sendiri yang dijatuhi hukuman oleh pemerintah Arab Saudi, akan tetapi mereka juga akan merepotkan pemerintah Indonesia, karena mereka adalah Warga Negara Indonesia.
Menurut keputusan musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah NU, haji visa non haji (tidak prosedural) sah, karena visa haji bukan bagian dari syarat-syarat haji dan rukun-rukun haji dan larangan agama yang berwujud dalam larangan pemerintah Arab Saudi bersifat eksternal (راجع إلى أمر خارج).
Alasan Hajinya Dianggap Cacat dan Pelakunya Berdosa
Melanggar Perjanjian
Dalam syariat, kita wajib mematuhi perintah ulil amri dan memenuhi perjanjian. Orang yang haji dengan visa non-haji (ilegal) bertentangan dengan substansi syariat Islam karena praktik haji non-prosedural ini berpotensi membahayakan dirinya sendiri dan juga jamaah haji lainnya.
Memperparah Kepadatan
Selain mengamil hak tempat yang disediakan untuk jamaah haji resmi ini, praktik haji ilegal, mereka juga memperparah kepadatan jamaah di Armuzna maupun di Mekah, yang borpotensi mempersempit ruang gerak jamaah haji resmi sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi diri sendiri dan juga jamaah lain.
Solusi
Pengurus Besar Harian Syuriyah NU merekomendasikan agar pemerintah melakukan upaya untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan haji yang tidak sesuai dengan prosedur. Sosialisasi regulasi tentang larangan haji non-prosedural perlu dijelaskan secara optimal. Dan sosialisasi tersebut dapat dipandang sebagai bentuk amar ma’ruf yang dianjurkan oleh Islam.